MANUSCRIPT OF ISLAMIC TEACHINGS IN PENCAK SILAT AMENG TIMBANGAN
Abstrak
Pencak silat aliran Timbangan merupakan buah dari ajaran Islam yang bersumber pada
naskah Timbangan yang ditulis oleh R. Moezni Anggakoesoemah pada tahun 1920-an.
Masyarakat Jawa Barat, khususnya pecinta bela diri pencak silat, lebih mengenal Ameng
Timbangan sebagai bela diri ketimbang sebuah ajaran mengenai pokok-pokok agama Islam.
Padahal sesungguhnya Ameng Timbangan bukan tujuan akhir dari seorang penganut ajaran
Timbangan. Ajaran Timbangan terdapat dalam teks naskah yang terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1 Gurinda alam majaji (Guaroma)
2 Iman Bener anu jadi Tetengger Allah Ta’ala (Ibtat)
3 Syareat Tarekat Hakekat Marifat (Syatahama).
Keistimewaan naskah ini adalah tidak menguraikan sedikit pun mengenai gerak pencak silat.
Bahkan sebaliknya mewajibkan para penganutnya untuk berakhlak mulia sebagai buah pemahaman teksnya. Guna mengetahui ajaran Timbangan yang terdapat dalam teks naskah digunakan metode analisis isi dengan mengacu pada jenis penelitian deskripsi. Diharapkan tulisan ini dapat memberi pencerahan sekaligus menjawab pertanyaan mengapa Ameng Timbangan sangat melarang merusak atau menyakiti lawan, dan mengapa tidak pula mempunyai jurus-jurus, baik menyerang maupun
bertahan.
Abstract
Pencak silat (a kind of Indonesia’s traditional martial art) of Timbangan is a result of
Islamic teachings based on the manuscript of Timbangan written by R. Moezni
Anggakoesoemah in 1920s. It is known better as martial art rather than as moral teachings.
The teachings of Timbangan consist of three parts:
1 Gurinda alam majaji (Guaroma),
2 Iman Bener anu jadi Tetengger Allah Ta’ala (Ibtat)
3 Syareat Tarekat Hakekat Marifat (Syatahama).
The author has analysed the content of the manuscript to study moral teachings
of Timbangan. Hopefully, the research would give insight and answer the question of why it is
forbidden in Ameng Timbangan to destroy or hurt the enemies and why there is no defence or
attack movements in this martial art.
A. PENDAHULUAN
Pencak silat dalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Jawa Barat menduduki nilai
strategis. Berbagai aspek kehidupan, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aspek seni dan
permainan tradisional (rakyat) berpijak pada gerak pencak silat (Heryana,1997:1) Dalam hal ini
pencak silat menjadi prinsip dasar berkembangnya atau setidaknya memberi warna dan corak
pada suatu seni atau permainan rakyat. Sehubungan hal itu dapat diamati pada bentuk-bentuk
kesenian dan permainan rakyat seperti: Debus, Rudat, Gotong Singa atau Sisingaan, Benjang,
Kuda Renggong, Longser, Adu Domba, Ketuk Tilu, Tari Sunda dan sebagainya.
Sesungguhnya pencak silat berasal dari budaya masyarakat rumpun Melayu. yang hidup
dan berkembang di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pada masa lalu
tidak ada kesamaan di dalam menyebut atau menamakan pencak silat. Masyarakat di kepulauan
Indonesia menyebutnya pencak saja tanpa tambahan kata silat. Sedangkan di Malaysia,
Singapura dan Brunei Darussalam menyebutnya silat saja tanpa pencak. Kata pencak dan silat
pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Kata lain yang juga mempunyai arti sama dengan
pencak dan silat, tetapi jarang atau mungkin tidak pernah digunakan lagi adalah gayung,
gayong atau gayuang (IPSI,1990:14).
Selanjutnya untuk keseragaman penyebutan pada tanggal 18 Mei 1948, saat tokoh-tokoh
nasional dan tokoh-tokoh pencak silat Indonesia mendirikan IPSI di Surakarta, kata pencak dan
silat digabungkan menjadi satu kata majemuk, yaitu pencak silat. Hal ini diperkuat dengan
akronim IPSI itu sendiri yang berasal dari Ikatan Pencak Silat Indonesia. Sejak itulah pencak
silat menjadi istilah resmi di Indonesia.
Pencak silat atau di Jawa Barat sering disebut penca saja tanpa diikuti kata silat atau
disebut juga maenpo. Kamus Sunda LBSS mengartikan penca adalah ngaran sarupa seni
gerak badan pikeun ngabela diri, nama sebuah seni gerak badan yang bertujuan untuk
membela diri. Upaya pembelaan diri manusia itu erat kaitannya dengan kemampuan
mengerahkan kekuatan yang dimilikinya. Pengerahan potensi diri manusia berasal dari dua
kekuatan, yaitu kekuatan lahir (jasmani) dan kekuatan batin (rohani). Kedua kekuatan ini
kemudian bersatu dan membangun sebuah sistem bela diri yang khas sifatnya. Kekhasan
sistem bela diri itu tercermin pada penempaan kekuatan lahir (fisik) berupa gerakan-gerakan
penca yang telah disistematisasikan di dalam jurus-jurusnya. Oleh karena itu berbagai pola
jurus telah tercipta dan diciptakan para pendekar penca (Heryana,1995:7). Sedangkan kekuatan
batin berupa olahan-olahan pikiran, perasaan, imajinasi dan hal-hal lain yang berbentuk abstrak
yang ada pada diri manusia seperti emosi dan naluri. Olahan kedua ini kemudian menampakkan
bentuknya pada strategi, taktik, dan teknik suatu pencak silat. Dalam hal ini, pencak silat oleh
Fadilakusumah (1998:3) diartikan ”kerjasama yang harmonis antara kemampuan jiwa dengan
raga yang digerakkan untuk tujuan membela diri melalui gerak khas Jawa Barat”.
Pengerahan kekuatan jiwa berarti pengerahan kekuatan akal (rasio), daya khayal
(imajinasi), perasaan (emosi) dan kemauan. Kekuatan-kekuatan ini diolah sedemikian rupa
yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan bela diri yang tersistemasikan pada jurus-jurusnya
(pencak silat). Senada dengan arti tersebut, Rusyana (1996:96) mengartikan penca hakikatnya
adalah ”kemahiran teknis bela diri yang tidak semata-mata mengandalkan kekuatan jasmani,
melainkan kecerdasan akal dan kepekaan rasa, yang diperoleh melalui latihan yang tekun”.
Selanjutnya, kekhasan sistem1 bela diri itu ditentukan oleh sosio budaya dan falsafah2 atau ajaran yang berlaku pada masyarakat masing-masing pemilik/pendukung suatu ilmu bela diri.
Misalnya, pendukung penca aliran Cimande berasal dari masyarakat petani atau pedagang yang
berbeda dengan masyarakat bangsawan yang hidup di kalangan pemerintahan tradisional (kebupatian).
Alam yang keras dan ketidakamanan menuntut para petani-pedagang itu untuk
berpakaian yang sesuai, yaitu yang tidak membatasi kebebasan bergerak cepat. Dengan
demikian, celana sontog atau pangsi yang digabung dengan baju kampret sebagai pakaian
mereka sehari-hari. Demikian pula akibat pada cara berpakaian itu berpengaruh juga pada
aliran pencak silat yang tercipta dalam kelompok sosial yang mengenakannya. Gerakan-kaki
dan tangan Cimande yang tuntas dan keras menjadi ciri aliran Cimande (Darmana,1978:26-30).
Di Jawa Barat itu sendiri, berdasarkan hasil penelitian Aliran-aliran Pokok3 Pencak di
Jawa Barat (Darmana,1978) terdapat 3 (tiga) aliran pencak silat yang pokok. Artinya, aliranaliran
atau sistem-sistem utama yang telah mapan yang sudah diakui keampuhannya dan cukup
meluas pengikutnya. Selain itu juga telah menjadi sumber bagi perkembangan pencak silat
dewasa ini, baik sebagai bela diri, olah raga, maupun seni. Ketiga aliran pokok pencak silat
tersebut adalah aliran Cimande, aliran Cikalong, dan aliran Timbangan. Ketiga aliran pokok
penca itu masing-masing memiliki jurus dan prinsip berbeda antara satu dengan yang lainnya.
1. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian dan yang kalau bagian-bagian tersebut diubah atau dirusak, maka kesatuan itu pun akan rusak. Jika suatu pencak silat merupakan suatu sistem, maka pencak silat itu akan terdiri atas beberapa bagian yaitu: filsafatnya, strateginya, taktiknya dan tekniknya. Seandainya dalam suatu sistem terjadi pertentangan atau ketiadaan persesuaian antara filsafat dan strategi atau taktik atau teknik, maka sebagai sistem pencak silat itu menjadi rusak.
2. Falsafat suatu sistem pencak silat adalah jawaban-jawaban terhadap.pertanyaan asasi tentang apa
pencak silat itu, untuk apa dan sebagainya. Dalam suatu sistem pencak silat, filsafat akan menentukan
strategi, taktik dan teknik.
3. Sebutan aliran pencak silat hendaknya ditafsirkan sebagai sistem. ""
Aliran Cimande dicetuskan oleh Eyang Kahir atau Abah Kahir atau ayah Kahir.
Dinamai penca Cimande karena murid-murid Ayah Kahir berlatih di kali Cimande. Ayah
Kahir meninggal di Bogor dan dimakamkan di Kampung Sareal pada tahun 1825. Dewasa ini
aliran Cimande berpusat di Kampung Tarikolot Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Ayah
Kahir meninggal di Bogor dan dimakamkan di Kampung Sareal pada tahun 1825.
Aliran Cikalong dicetuskan oleh Raden Haji Ibrahim. Rd Haji Ibrahim adalah seorang
pecinta ilmu (penca). Dimana pun ada guru penca, ia selalu mendatanginya untuk berguru.
Hasil berguru itu kemudian diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan penca yang berbeda
dengan yang ada. Penca yang diperolehnya itu kemudian dinamai para pengikutnya sebagai
penca aliran Cikalong. Disebut demikian sebab ia tinggal di Cikalong, Cianjur.
Aliran Cimande dan Cikalong memiliki persamaan dalam pola pembelajarannya, yakni
bermula dari penguasaan gerak dasar hingga menjadi sebuah susunan jurus. Tahap berikutnya
adalah pemberian pelajaran kerohanian yang berfungsi sebagai pengendali penggunaan
pencanya. Pada tahap pemberian pelajaran kerohanian ini diberikan pengajaran berupa ajaranajaran
moral yang dirumuskan dalam bentuk talek4
(sumpah.janji pendekar).
Ajaran moral pada penca aliran Cimande dan Cikalong diberikan setelah atau
bersamaan dengan pelajaran jurus-jurusnya. Fungsinya sebagai “pelengkap” dan tidak
berkaitan dengan gerak jurus aliran penca tertentu. Tanpa disertai ajaran moral pun seseorang
dapat mempelajari kedua aliran penca tersebut. Dalam hal ini ajaran moral bukan sebagai
sumber lahirnya gerak penca aliran Cikalong dan Cimande. Sedangkan aliran Timbangan
berpola “balik sungsang”, yaitu berawal dari penguasaan ajaran kerohanian yang kemudian
dilanjutkan pada penguasaan gerakan. Oleh karena itu, Timbangan sendiri menurut para
penganutnya, bukanlah aliran pencak silat, melainkan suatu bela diri mandiri terpisah dari
pencak silat. Hanya di kalangan ahli-ahli pencak silat saja Timbangan disejajarkan dengan
aliran-aliran pencak silat lain, karena memang kebanyakan yang mempelajari Timbangan itu
sebelumnya telah mempunyai latar belakang pencak silat.
Ciri umum sebuah bela diri adalah menjatuhkan atau merusak lawan sampai tak berdaya.
Guna mencapai hal itu diperlukan strategi dan taktik perkelahian yang sistematis. Di dalamnya
terjadi proses pengolahan kekuatan, cara berlatih dan melatihkan teknik-teknik tertentu untuk
melumpuhkan lawan. Pendek kata setiap jurus yang dilatih mengarah pada melumpuhkan
"" 4. Patalékan adalah sumpah atau janji seorang pemenca. Setiap perguruan penca atau padepokan memiliki Patalékan. Oleh karena itu, setiap Patalékan akan berbeda antara satu padepokan dengan padepokan lainnya. Perbedaan ini sangat bergantung kepada guru besar penca setiap padepokan. Meskipun banyak perbedaan, intisari Patalékan mempunyai kesamaan. Yakni berisi sumpah pemenca untuk berbuat kebajikan. Misalnya, salah satu tujuan aliran penca Cimande adalah terwujudnya sikap dan perilaku hidup serta amal perbuatan Keluarga Besar Pencak Silat Cimande (KBPS Cimande) yang berpedoman kepada Talek (Petunjuk Pembinaan Pencak Silat Cimande, t t : 4)""
lawan. Berbeda dengan hal itu semua, Ameng Timbangan sangat “mengharamkan” merusak
lawan. Gerak memukul, menyikut, menendang merupakan gerak untuk menyakiti lawan; dan
hal itu semua dilarangnya.
Bagi seorang murid Timbangan berlaku prinsip “Jika diri dipukul merasakan kesakitan,
maka orang lain pun akan merasakan hal yang sama”. Perkelahian dalam pandangannya tidak
lebih dari “memperlakukan seorang anak yang merajuk” untuk menginginkan sesuatu. Oleh
karena itu, sangat terlarang untuk menyakitinya apalagi merusaknya. Gerakan yang
digunakannya tidak lain adalah gerakan menghindar atau mengalirkan tenaga dengan tujuan
menyelamatkan sang anak. Jadi, tindakan penyelamatan lawan merupakan ciri khas Ameng
Timbangan.
Ada beberapa keunikan penca aliran Ameng Timbangan, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak mempunyai jurus-jurus tertentu.
2. Perusakan atau menyakiti lawan; memukul, menendang, atau gerakan lain untuk menyakiti lawan sangat terlarang.
3. Tujuannya untuk menyelamatkan : silih salametkeun. (saling menyelamatkan)
4. Bersumber pada ajaran Islam yang terdapat dalam teks naskah Timbangan.
Ameng Timbangan lahir di Bandung dengan pendirinya adalah Rd. Moezni
Anggakusumah, putra Rd. Haji Adra’i, seorang Penghulu Kepala di Sumedang. Ia dilahirkan di
Sumedang pada bulan Oktober 1887. Pada masa mudanya, ia aktif di organisasi Syarikat Islam
di Bandung. Namun, karena sifatnya yang kritis terhadap masalah sosial politik pada waktu itu,
maka pada tahun 1919 Pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakannya di penjara
Banceuy. Di dalam penjara, ia banyak bergaul dengan tokoh pergerakan lain. Mereka sering
berdiskusi mengenai keadaan bangsanya. Satu kelebihan Rd. Moezni Anggakusumah adalah ia
tidak hanya dapat melihat masalah bangsanya dengan kacamata politik, tetapi juga dengan
kacamata filsafat. Dengan melalui perenungan filsafat itulah Rd. Moezni Anggakusumah
menemukan suatu cara agar manusia selamat dalam menjalankan hidupnya di dunia yang fana
ini. Hasil renungannya dibukukan dalam tiga buah kitab berbahasa Sunda yang disusun
dalam bentuk guguritan , yaitu Guaroma (Gurinda Alam Rohani Majaji), Ibtat (Imam Bener
Tetengger Allah Ta’ala) dan Satahama (Sareat, Tarekat, Hakekat, Ma’rifat). Lahirnya kitab ini
dianggap sebagai lahirnya sistem bela diri Timbangan karena intisari aliran Timbangan berada
dalam pemahaman teks tersebut. Tanpa penguasaan teks yang baik dan benar akan
menyebabkan Timbangan sebagai bela diri kehilangan ruh-nya.
Teks naskah Timbangan itu sendiri bukanlah sebuah petunjuk dalam melakukan
gerakan atau jurus-jurus tertentu, melainkan sebuah teks ajaran yang menguraikan hubungan
manusia dengan Tuhannya yang mengimbas pada hubungan antarsesama manusia. Dalam pada
itu, pemahaman atas teks memerlukan wawasan luas dalam bidang ajaran agama Islam dan
konteks budaya yang berlangsung saat teks itu ditulis. Hal itu disebabkan sifat teks itu sendiri
yang berisi ajaran agama. Uraian di atas memunculkan masalah mengapa teks Timbangan menjadi intisari seluruh gerak-lahir aliran Ameng Timbangan. Maksud penelitian adalah mengungkapkan nilai ajaran moral yang terkandung di dalam teks Timbangan.
Penelitian ini diharapkan menjadi sarana beribadah kepada Allah. Tidaklah Allah
menciptakan makhluk itu dengan percuma atau sia-sia. Semuanya mempunyai makna yang
semuanya pula memerlukan perenungan mendalam guna mengetahui dibalik fenomena itu
semua. Manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah. Jika demikian dapatkah kita
"beribadah" melalui penca? Jika kita beranggapan ibadah hanya terbatas pada pengertian
ritualitas agama saja seperti rukun Islam ( syahadat, shalat, puasa, zakat dan ibadah haji); jelas
penca tidaklah termasuk ke dalamnya, tetapi apabila kita memandang pengertian ibadah lebih
kepada upaya seseorang untuk mencari keridoan-Nya, maka penca, khususnya Ameng
Timbangan dapat masuk ke dalamnya.
Berkaitan dengan tujuan penelitian di atas, maka metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah metode deskripsi analitik, yakni suatu metode yang memaparkan data-data apa
adanya yang kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan. Selain itu dilakukan pula teknik
pengumpulan data berupa observasi partisipasi/pengamatan terlibat serta komunikasi langsung
dalam bentuk wawancara. Sumber data lain yang sifatnya sekunder adalah kepustakaan.
Kepustakaan, diperlukan untuk menunjang data penelitian tentang kepercayaan masyarakat
yang diperoleh melalui wawancara.
Naskah Ameng Timbangan
B. HASIL DAN BAHASAN
1. Kelahiran Ameng Timbangan
Pencetus Timbangan adalah Raden Moez’ni Anggakoesoemah6. Beliau dilahirkan di
Sumedang pada suatu hari di bulan Oktober 1887. Ia adalah putra Raden Adro’i, Penghulu
Kepala Sumedang. Pendidikan yang didapat dari lingkungan keluarga memungkinkan bagi
dirinya untuk memiliki sikap, pandangan dan pendirian yang tegas tentang berbagai masalah
yang ada di lingkungan masyarakat sekitarnya pada awal abad ke-20. Salah satu hal yang
menarik perhatiannya adalah nasib bangsanya, masyarakat pribumi ketika itu. Ia menyaksikan
banyak ketidakadilan. Sebagai seorang yang mendalami aspirasi agama, khususnya agama
Islam, ia tidak bisa berpangku tangan. Oleh karena itu, ia memasuki organisasi politik Syarikat
Islam di Bandung.
Raden Moez’ni Anggakoesoemah berpendapat, bahwa keadaan yang buruk yang
diderita bangsanya adalah akibat dari kebijaksanaan-kebijaksanaaan dan tindakan-tindakan
kolonial Belanda pada saat itu. Pendapatnya ini tidak hanya mendorong memasuki organisasi
politik, tetapi juga dia tidak sudi bekerja pada pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, ia mencari
nafkah dengan bekerja pada perusahaan swasta, walaupun kesempatan menjadi pegawai
pemerintah terbuka baginya, karena ia seorang putra pegawai pemerintah ketika itu.
Aktivitas di organisasi Syarikat Islam adalah memimpin koperasi organisasi. Selain
itu, ia pun memberikan penerangan-penerangan tentang berbagai keadaan dan masalah kepada
para anggota lainnya. Pandangan-pandangannya atas kehidupan sosial masyarakat dianggap
berbahaya oleh Pemerintah Belanda, maka pada tahun 1919, ketika ia berusia 32 tahun,
Pemerintah Belanda menangkapnya dan memenjarakannya di penjara Banceuy. Tindakan
Pemerintah Belanda bukannya melemahkannya, namun justru mempertegas dan memperjelas
sikap dan pendirian-pendirian yang dianut semula.
Penjara bagi Raden Anggakoesoemah merupakan ajang pertemuan dengan anggotaanggota
politik lainnya yang banyak tumbuh pada masa pergerakan. Mereka adalah kawan
Raden Anggakoesoemah untuk berdiskusi. Melalui diskusi-diskusi itulah pandangan dan
pendiriannya semakin lama semakin teguh.
5. Tulisan ini bersumber pada draf Laporan Penelitian Aliran-aliran Pokok Pencak Silat Jawa Barat yang ditulis oleh Nana Darmana,dkk. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977 – 1978. Dalam media cetak pun buku ini menjadi rujukan utama, seperti terdapat pada majalah Jurus No. 15 –Tahun I-3 Januari – 16 Januari 2000; termasuk pula situs internet: http://silatindonesia.com/2007/05/timbangan/
6. Nama lengkap Raden Moezni Anggakoesoemah, tetapi dalam keseharian (nama panggilan) disebut
Raden Anggakoesoemah. Hal ini didasarkan catatan Padepokan Penca Daya Sunda.
Raden Anggakoesoemah seorang yang cerdas. Pada usia masih muda kepandaiannya
sebagai orang pergerakan sudah hampir menyamai tokoh berpengalaman saat itu. Pandangan
Raden Anggakoesoemah dalam dunia pergerakan politik masa itu memiliki kekhasan. Ia tidak
melihat masalah-masalah bangsanya dengan kacamata politik, akan tetapi memandangnya dari
sisi kehidupan manusia atau kearifan.
Raden Anggakoesoemah merenungkan persoalan-persoalan di masyarakat yang penuh
dengan berbagai kepincangan. Renungan-renungannya itu membuahkan kesimpulan, bahwa
sumber kepincangan itu terletak pada diri manusia itu sendiri, yakni “manusia tidak memiliki
dasar hidup yang kuat”. Oleh karena itu, dasar hidup yang kuat itu harus ditemukan dan
diajarkan kepada sesama bangsa Indonesia. Dalam usaha pencaharian itu beliau menemukan
trilogi “cageur-bener-bageur” (sehat jasmaniah - berdiri di fihak kebenaran - baik hati). Kalau
masyarakat Indonesia telah memiliki sifat-sifat seperti itu, maka bangsa Indonesia akan dapat
“membela dirinya” terhadap “serangan” bangsa lain.
Kesimpulan atas hasil renungan mendorong Raden Anggakoesoemah untuk
memperkokoh pandangan hidup dan menyebarkannya kepada kawan-kawan di dalam penjara
itu. Usahanya ini mendapat penunjang yang kuat dari bakatnya membuat guguritan (sajak
Sunda). Banyak di antara kawan-kawan Raden Anggakoesoemah mengumpulkan guguritan
tersebut yang keseluruhannya meliputi tiga buku, yaitu buku I Guaroma, buku II Ibtat, buku III
Syahatama.
Buku yang pada intinya berisi trilogi “cageur-bener-bageur” ini mengajarkan agar
setiap orang memiliki sikap pendirian yang kuat hingga dalam hidup sehari-harinya terhindar
dari itikad buruk seperti mengambil keuntungan dari kesukaran orang lain, memfitnah, berlaku
curang, merendahkan orang lain dan sebagainya. Hanya kalau dapat membela diri dari
kecenderungan-kecenderungan jahat seperti itulah, maka seseorang menjadi kuat secara rohani.
Kalau setiap pribadi dalam setiap bangsa kuat, maka akan kuat pula seluruh bangsa.
Lahirnya buku-buku guguritan itu dianggap sebagai lahirnya sistem bela diri aliran
Timbangan, karena sejak itulah dimulainya latihan-latihan pembelaan diri terhadap serangan
yang ditujukan kepada rohani. Latihan-latihan itu dilakukan dalan bentuk diskusi sesama
tahanan. Melalui usaha seperti itu tidak sedikit kawan-kawan Raden Anggakoesoemah
menyatakan bahwa manusia tidak hanya bersifat batin, akan tetapi juga bersifat jasmani. Di
pihak lain Raden Anggakoesoemah melihat sendiri, bagaimana dalam kehidupan penjara orang
lemah berada di pihak yang benar. Orang-orang yang baik, tetapi lemah secara jasmani ini
sering diperlakukan oleh orang-orang jahat di luar batas perikemanusiaan. Itulah sebabnya,
Raden Anggakoesoemah mulai memikirkan segi jasmani dari sistem bela diri Timbangan yang
pada masa itu masih bersifat rohani.
Namun, sebelum gagasan pembelaan diri Timbangan yang bersifat jasmani tercipta,
pemerintah kolonial Belanda beranggapan Raden Anggakoesoemah terlalu berbahaya bila
berada di penjara Banceuy. Ia harus dicegah menyebarkan gagasan-gagasan melalui diskusidiskusi
kepada sesama tahanan. Itulah sebabnya Raden Anggakoesoemah dipindahkan ke
penjara Sawahlunto, Sumatera.
Pemindahan Raden Anggakoesoemah ke Sawahlunto ternyata mempercepat tumbuh
dan berkembangnya sistem bela diri Timbangan bagian jasmaninya. Di dalam penjara
Sawahlunto terkumpul penjahat-penjahat kelas berat, yaitu perampok dan pembunuh.
Pembunuhan antara sesama pesakitan adalah hal yang biasa. Akan tetapi hati nurani Raden
Anggakoesoemah sebagai orang yang beradab dan berbudi luhur tidak dapat menerima keadaan
itu. Maka renungan-renungan yang dibawanya dari Bandung terus diolah. Pandangan hidupnya
diusahakan menjelma dalam bentuk lahiriah, berupa gerakan-gerakan bela diri, dan kemudian
dikenal bernama Timbangan.
Pada awal terciptanya sistem bela diri Timbangan sedikit sekali orang yang mau
mempelajarinya. Bukan saja masyarakat penjara relatif lebih kecil, akan tetapi dengan
sendirinya suatu ajaran yang berisikan sikap hidup dan budi pekerti yang luhur itu tidak akan
mendapat tanah yang subur di hati para penjahat. Mudah dimengerti apabila hanya beberapa
orang saja yang mau belajar, khususnya sesama kawan tahanan Raden Anggakoesoemah.
Suatu hari terjadilah peristiwa yang memberi dorongan sangat besar pada pertumbuhan
sistem bela diri Timbangan. Peristiwa yang dimaksud adalah adanya orang gila yang
mengamuk dan mengakibatkan tahanan-tahanan lain cedera. Dalam kejadian ini para tahanan
disuruh berlindung dan petugas penjara mulai membidikkan senapan ke arah orang gila
tersebut.
Raden Anggakoesoemah mendapat ilham. Peristiwa itu dimanfaatkan untuk menguji
beberapa gagasan yang berhubungan dengan bela diri Timbangan. Ia ingin menguji gerakangerakan
yang telah lama dilatihkan pada diri dan pada kawan-kawannya itu apakah dapat
diandalkan atau tidak. Di samping itu beliau pun harus meyakinkan dirinya bahwa orang yang
berakal sehat akan mengalahkan orang gila.
Pikiran lain pun muncul seandainya ia dapat menangkap orang gila itu, ia akan
memperoleh kekuatan dan wibawa untuk memperbaiki keadaan penjara yang buruk. Wibawa
ini dapat dimanfaatkan untuk menanamkan kekuatan rohani seperti yang menjadi inti sistem
bela diri Timbangan. Dengan kekuatan rohani itu diharapkannya keadaan penjara menjadi
tenteram, orang-orang saling hormat-menghormati, jauh dari dengki dan saling merugikan
sesama kawan. Dengan pikiran-pikiran seperti itulah Raden Anggakoesoemah tampil
menghalangi orang gila yang mengamuk walaupun para petugas melarangnya. Ternyata kemudian, bahwa hasil latihan-latihannya itu membuahkan hasil. Orang gila itu berhasil
digiringnya memasuki selnya kembali.
Akibat tindakan itu terjadi dua hal yang bertentangan. Pertama, para petugas menjadi
hormat dan menaruh perhatian; kedua, para tahanan ada yang ketakutan dan ada juga yang
penasaran ingin mencoba kepandaian Raden Anggakoesoemah. Mereka yang penasaran ini
tampaknya tidak tahan lagi untuk mencoba kepandaiannya Raden Anggakoesoemah. Mereka
menantang berkelahi, namun dengan sabar Raden Anggakoesoemah membujuknya agar tidak
bersikap demikian. Sikap Raden Anggakoesoemah itu disalahartikan sebagai pertanda takut
kepada mereka. Akhirnya, terpaksa Raden Anggakoesoemah melawan mereka. Perkelahian
Raden Anggakoesoemah dengan para jagoan (tahanan) bukan saja mengalahkannya, bahkan
menyadarkannya. Setiap serangan yang mereka lancarkan dihindarkan sedemikian rupa hingga
Raden Anggakoesoemah bisa merebut posisi yang baik. Pada posisi itu ia dapat menyerang dan
mencelakakan lawannya, tetapi tidak dilakukan. Akhirnya mereka menyadari sesungguhnya
mereka sudah kalah, hanya saja Raden Anggakoesoemah tidak bermaksud jahat pada diri
mereka. Dalam cara demikianlah mereka akhirnya menjadi sahabat sekaligus berusaha
mengubah budi pekertinya yang buruk.
Tahun 1923 Raden Anggakoesoemah dilepaskan dari penjara. Setelah kembali ke
Bandung, ia tidak mengadakan latihan-latihan terbuka karena keadaan tidak mengizinkan.
Namun, tahun 1928 yaitu setelah terjadinya pemberontakan komunis, Raden Anggakoesoemah
mengadakan latihan-latihan terbuka. Di antara murid-muridnya, banyak anggota pemuda
penggerakan. Selain itu terdapat pula mata-mata pemerintah Kolonial Belanda yang mengikuti
latihan untuk memata-matainya. Pemerintah Kolonial Belanda mencurigai latihan-latihan itu
sebagai kedok pertemuan kaum pergerakan. Para mata-mata tidak menyadari pelajaranpelajaran
rohani-jasmani yang diberikannya dapat mengubah cara pandang seseorang. Oleh
karena itu, banyak mata-mata Belanda yang menjadi sadar dan berbalik melawan tuannya.
Raden Anggakoesoemah pun terlepas dari bahaya penangkapan kembali. Latihan-latihan itu
terus berlangsung sampai tahun 1942 hingga pemerintah kolonial Belanda menyerah kepada
pasukan bala tentara Jepang.
Perkembangan sistem bela diri Timbangan tidak berkembang luas seperti Cimande atau
Cikalong. Penyebabnya tidak lain karena memerlukan dasar-dasar kerohanian yang kuat serta
wawasan agama (Islam) yang dalam.
2. Teks Naskah Timbangan
Teks naskah Timbangan sebagaimana dikemukakan di awal tulisan terdiri atas 3 (tiga)7
teks, yaitu:
1. Gurinda alam majaji (Guaroma),
2. Iman Bener anu jadi Tetengger Allah
Ta’ala (IBTAT);
3. Syareat Tarekat Hakekat Marifat (SYA-TA-HA-MA).
Ketiga naskah tersebut ditulis dalam bentuk puisi (guguritan ), kecuali bagian Guaroma ditulis dalam dua bentuk, yaitu prosa dan puisi.
a. Prosa
Bentuk prosa merupakan uraian naratif yang berfungsi sebagai pengantar dalam
memahami Timbangan. Biasanya guru Timbangan melakukan tanya-jawab dengan orang
yang ingin belajar Ameng Timbangan dan hal itu dilakukan melalui gunem catur (diskusi
tanya jawab). Isi pembicaraannya mengenai tujuan dan motivasi mempelajari Timbangan.
Biasanya gunem catur berlangsung beberapa kali pertemuan, bahkan kadang-kadang berjalan
dalam beberapa bulan. Hal itu sangat bergantung kepada kemauan dan kesungguhan orang
yang bersangkutan. Apabila proses ini berjalan mulus, tidak lama lagi ia akan diajarkan
gerakan-gerakan Timbangan. Namun demikian, tidak jarang “para pencari” Timbangan kalah
sebelum bertanding. Baru sekali atau beberapa kali pertemuan sudah tidak sanggup mengikuti
7. Gan Ema atas izin R. Mugni Anggakoesoemah menambahkan Ameng Timbangan-sebagai sistem bela diri- menjadi tahap keempat (Kudjang TAUN V No. 256)
“acara” gunem catur itu. Berikut adalah cuplikan gunem catur dengan Kang Aom8
yang
penulis lakukan dalam menelusuri naskah Timbangan.
Bapa teh ngahaja nalek, da sok rupa-rupa kahayang jalma mah. Aya nu hayang
bisa gelut; da dianggapna Timbangan teh keur gelut. Enya eta ge sok dipake diadu,
tapi lain ka dinya tujuanana. Baheula, pun aki, nyiptakeun timbangan teh lain keur
gelut, jeung deuih da teu aya pangajaran gelut. Eta cenah sok aya nu nyebutkeun
timbangan teh elmu nu luhur, dumeh sawatara lawanna ragrag ku timbangan; eta
mah polahna sorangan bae. Ku lantaran kitu perlu heula dilelempeng naon ari
timbangan nu saenyana teh.
( Bapa sengaja bertanya, sebab keinginan orang berbeda-beda. Ada yang ingin bisa
berkelahi sebab menurutnya timbangan itu untuk berkelahi. Iya itu pun kadangkadang
dipake berkelahi, tetapi bukan itu tujuannya. Dulu, kakekku, menciptakan
Timbangan bukan untuk berkelahi, bahkan tidak ada sama sekali pelajaran
berkelahi. Katanya ada yang mengatakan Timbangan adalah ilmu yang tinggi, sebab
ada sebagian lawannya kalah oleh Timbangan. Itu sebenarnya karena perbuatannya
sendiri. Oleh karena itu, perlu diluruskan apakah Timbangan itu sebenarnya ).
Sesungguhnya teks Timbangan dalam bentuk prosa tidaklah persis sama dengan
obrolan di atas, bahkan nyaris berbeda sama sekali. Namun, bukan berarti kandungan obrolan
itu tidak bermakna atau tidak terarah. Hal pertama yang harus dilakukan guru Timbangan
adalah membuka pikiran calon murid atas masalah-masalah pokok dalam Ameng Timbangan.
Proses penempaan pikiran ini yang (biasanya) membuat bosan dan “pusing” sehingga
mengurungkan niat seseorang untuk terus berlatih. Teks Timbangan dalam bentuk prosa berisi
uraian Rukun Islam, Syahadat, dan Sifat 20 (Dua puluh).
b. Puisi
Naskah berbentuk puisi ditandai dengan pemakaian pupuh dalam teks naskah
Timbangan. Istilah pupuh memiliki beberapa pengertian. Pertama, dalam istilah karawitan
berarti bait atau pada, misalnya untuk sebutan sapupuh artinya sebait (satu bait) atau sepada.
Kedua, aturan. Misalnya pada kata perang pupuh yang berarti perang yang beraturan. Ketiga,
berarti lagu atau tembang. Pupuh Kinanti bisa diartikan lagu kinanti. Keempat, rangkaian bait
yang memiliki pola yang sama. Pengertian ini diambil berdasarkan fungsi pupuh itu sendiri,
yakni sebagai sumber pola untuk membuat rumpaka (syair) yang akan digunakan sebagai
sarana penyajian tembang (lagu) (Atik Soepandi, 1986:3-4). Senada dengan hal itu Rosidi
(1966:11) pun memberikan pengertian pupuh adalah puisi yang terikat oleh guru lagu, guru
wilangan, dan guru gatra (jumlah baris). Guru lagu adalah suara vokal pada akhir baris; guru.
8. Panggilan untuk Ahmad Darajat (60) putra H. R.Moehjidin Anggakoesoemah. Wawancara dilakukan tanggal Sabtu 3 Maret 2012 jam sebelas bertempat di Jl, Cibaduyut Lama Gg. Laksana.
wilangan adalah jumlah suku kata pada setiap baris dan guru gatra adalah jumlah baris pada
setiap pupuh tertentu. Berdasarkan kuantitas pemakaian pupuh, teks naskah Timbangan termasuk ke dalam kelompok KSAD. KSAD merupakan akronim dari pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan
Dangdanggula.
3. Kandungan Teks Timbangan
Titik tolak pencak aliran Ameng Timbangan bersumber pada sejauh mana seorang
murid mengerti, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam teks
naskah Timbangan. Di sinilah peran penting uraian naratif yang dilakukan seorang guru.
Tradisi gunem catur menjadi sangat penting dalam kerangka menjelaskan pengertian dan
pemahaman teks-teks tertentu. Berikut adalah beberapa kandungan teks naskah Timbangan.
a. Timbangan
Pengertian Timbangan diperoleh melalui tradisi gunem catur. Seorang guru perlu
menjelaskan mengenai hal itu, baik di awal, di tengah atau pun diakhir pertemuan. Itu semua
sangat bergantung pada situasi, kondisi dan mood (suasana hati) sang guru. Menurut
pendukung Ameng Timbangan, Timbangan artinya ukuran yang ditetapkan menurut ketentuan
yang berlaku 9. Kesalahan menimbang akan menyebabkan ketimpangan dan perselisihan.
Seorang pedagang menimbang sesuatu sesuai dengan berat yang diinginkan pembeli. Tentu
jika timbangannya sesuai dengan yang diharapkan akan membuahkan ketenteraman dan
kepercayaan yang tinggi dari pembelinya. Demikianlah manusia hidup di alam dunia ini
memiliki ukuran yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Tuhan memberikan sekujur tubuh
manusia dengan ukuran-ukuran yang sesuai dengan kondisinya.
b. Jelema jeung Manusa (Orang dan Manusia)
Ajaran Ameng Timbangan sangat menekankan perbedaan antara jelema (orang) dan manusa (manusia). Kedua kata tersebut sangat berbeda. Jelema henteu sarua jeung manusa. Jelema mah minangka “hasil campur” ti indung bapa; tapi manusa mah diciptakeun ku Allah anu bersih tina sagala tabeat nu goreng; manusa mah jelema anu deuheus – deukeut ka Allah. Apan sok aya babasan leungit kamanusaanana lain kajelemaanana, pikeun manusa nu milampah pagawean teu luyu jeung aturan hirupna. Jadi, manusa mah boga harti positip ari jelema mah negatip. (Kang Aom; wawancara tgl 3/3/2012)
9. ”Salah ku ukuran, bener ge ku ukuran. Baheula mah timbangan the sabada diloris (dipariksa) ku
Jawatan Metrologi the sok dibere tanda X (tera) minangka timbangan anu bener tur sah atawa
“layak pakai”. Hartina eta timbangan the moal nimbulkeun papaseaan atawa pacogrekan upama
dipake ku jalma rea. Hasilna the katingtriman atawa “perdamaian”. (Wawancara tanggal 3/3/2012)
(Orang tidak sama dengan manusia. Orang adalah “hasil campur” antara ibu
dan ayah, tetapi manusia diciptakan Allah dari yang bersih dari segala tabiat
yang jelek. Manusa adalah orang yang dekat dan berbakti kepada Allah.
Bukankah ada peribahasa hilang (sifat) kemanusiaannya, bukan
“keorangannya”, untuk manusia yang berbuat yang tidak sesuai dengan aturan
hidupnya. Jadi, manusia mempunyai nilai positif sedangkan orang bernilai negatif ).
Dalam teks (1) Gurinda Alam Majaji (Guaroma) pupuh Asmarandana (bait 3 - 5)
dikemukakan, bahwa orang banyak tersesat jalan hidupnya karena tidak menggunakan dasar
kemanusiaan. Kemanusiaan didasarkan pada kemuliaan dan kesabaran yang semuanya
bermuara pada kekuatan iman kepada Allah. Jadi, sesungguhnya Timbangan itu berada pada
wilayah kemanusiaan. Artinya belajar (ilmu) Timbangan berarti mempelajari ilmu
kemanusiaan. Timbangan bukan ilmu untuk merusak, tetapi ilmu untuk saling menyelamatkan.
Oleh karena itu seorang murid Timbangan harus mampu menelisik ”kedalaman hati” setiap diri
manusia. (Tah timbangan teh ayana dina kamanusaan, jadi diajar timbangan teh hartina mah
diajar elmu kamanusaan. Timbangan mah lain elmu keur ngaruksak, tapi elmu keur silih
salametkeun. Ku lantaran kitu kudu bisa ningali nepi ka jero-jroanana unggal diri).
c. Rukun Islam
Pokok utama pelajaran Ameng Timbangan diawali dengan pemahaman atas Rukun
Islam, yaitu: Syahadat, Shalat, Saum (Puasa), Zakat, dan Ibadah Haji. Satu dari lima Rukun
Islam memperoleh penekanan yang maksimal, yaitu Syahadat. Syahadat menurut teks ini
mempunyai (empat) 4 rukun, yaitu
1) kudu netepkeun Dzat Allah (mesti menetapkan Dzat Allah)
2) kudu netepkeun Sifatullah (mesti menetapkan Sifatullah)
3) kudu netepkeun Af’alullah (mesti menetapkan Af’alullah)
4) kudu sidik ka Rosulullah (mesti jelas kepada Rosulullah)
Keempat rukun ini kemudian dijelaskan dalam teks-teks selanjutnya.
d. Sifat Duapuluh : Sebuah Metode Ma'rifatullah
Uraian mengenai hubungan-khusus antara hamba dan khaliknya sering tertuju pada
masalah tunggal, yaitu Tuhan. Persoalan Tuhan pada hakekatnya persoalan yang menarik
untuk dibicarakan. Sejak zaman Yunani dengan para ahli filsafatnya hingga dewasa ini,
persoalan Tuhan tetap merupakan wacana yang aktual. Dalam kajian-kajian filsafat, istilah
Tuhan sering diidentifikasikan dengan Yang Ada. Hal ini guna menunjukkan hubungan antara
makhluk dengan khaliknya atau penciptanya. Adanya manusia bukanlah muncul dengan
sendirinya, tetapi diadakan oleh Yang Ada. Banyak nama untuk menamai Yang Ada itu.
Masyarakat tradisional menyebut Yang Ada (Tuhan) itu dengan sebutan Pangeran, Gusti,
Hyang atau Hyang Tunggal. Sementara itu, perubahan kepercayaan atau pergantian agama membawa konsekuensi yang cukup fundamental, yakni perubahan penyebutan nama Tuhan.
Orang Islam akan menyebutnya Tuhan itu dengan nama Allah sebagaimana tersurat pada rukun Islam
pertamanya, yakni Syahadat: Asyhadu anla ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar
rasulullah. Artinya: Aku bersaksi tak ada Tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi Muhammad
adalah rasul-Nya. Namun demikian dalam keseharian orang Sunda sering tanpa sadar
merangkaikan ucapan Allah dengan penyebutan Gusti, maka jadilah sebutan Gusti Allah.
Sayid Sabiq (1999:31) mengemukakan bahwa bermarifat kepada Allah mempunyai dua
cara, yaitu: pertama, dengan menggunakan akal fikiran dan memeriksa secara teliti apa-apa
yang diciptakan oleh Allah Ta'ala yang berupa benda-benda yang beraneka ragam. Kedua,
dengan mema'rifati nama-nama Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya. Dalam kaitannya dengan teks
Timbangan, penelusuran eksistensi Allah dilakukan melalui cara yang kedua, yaitu meneliti dan
menghayati sifat-sifat Allah melalui Sifat 20 dan Asmaul husna. Jadi, nama-nama dan sifatsifat
itulah yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah Ta'ala agar mahlukNya itu
dapat bermarifat kepadaNya. Inilah yang dapat dianggap sebagai saluran yang membuat hati
manusia dapat mengenal Allah secara spontan sebagaimana kutipan teks berikut: Ari sifat dua puluh teh nya eta sifat kapangeranan pikeun jalma jalan iman ka Allah sangkan marifat (terang). Mimitina anu kudu diuji teh ku sifat dua puluh, Allah – Muhammad – Adam. Ari Allah teh Ahadiyat, tegesna hiji memeh naon-naon; ibarat urang rek barang-dahar, samemehna salatri, tah lebah dinya. (Sifat dua puluh adalah sifat ketuhanan untuk orang menuju iman kepada Allah agar bermarifat (mengenal-Nya). Awalnya yang harus diuji oleh Sifat dua puluh (adalah) Allah – Muhammad – Adam. Allah itu Ahadiyat (artinya) tunggal sebelum bilangan lain; semisal kita akan makan minum, sebelumnya terkena salatri10, nah di situlah tempatnya).
Secara garis besar teks berkisar pada uraian mengenai latar belakang mengenal diri sendiri. Bertitik tolak pada "dalil" man arofa nafsahu fa qod arofa rabbahu (Siapa yang mengenal diri sendiri maka ia akan mengenal Tuhannya). Persoalan kemudian melebar kepada sifat-sifat Allah yang berjumlah 20 sifat. Sifat 20 ini pun dikelompokkan ke dalam 4 bagian besar, yaitu : Nafsiah, Salbiah, Ma'ani, dan Ma'nawiyah. Nafsiah adalah sifat yang dengan sifat itu dapat membuktikan dzat Allah. Salbiah adalah yang menafikan (meniadakan) sifat-sifat yang tidak mungkin dan tidak layak untuk Allah. Sifat Ma'ani adalah memastikan yang disifati
10. Merasa sakit kepala dan pusing karena kelaparan (belum sarapan)
itu bersifat dengan sifat-sifat itu. Dan Ma'nawiyah adalah sifat yang lazim memastikan atau
yang mengaktifkan sifat-sifat Ma'ani
Sifat duapuluh yang dimaksud dalam teks Timbangan adalah sebagai berikut:
1. Wujud (Ada)
2. Qidam (Dahulu tanpa permulaan)
3. Baqo (Kekal)
4. Mukhalafatu lilhawadits (Berbeda dengan yang baru)
5. Qiyamu binafsihi (Berdiri sendiri)
6. Wahdaniah (Maha Esa)
7. Kudrat (Kuasa)
8. Iradat (Berkehendak)
9. Ilmu (Mengetahui)
10 Hayat (Hidup)
11 Sama (Mendengar)
12 Basar (Melihat)
13 Kalam (Berkata)
14 Kodiran (Yang Kuasa)
15 Muridan (Yang Berkehendak)
16 Aliman (Yang Mengetahui)
17 Hayan (Yang Hidup)
18 Sami'an (Yang Mendengar)
19 Basiran (Yang Melihat)
20 Mutakaliman (Yang Berkata)
Keduapuluh sifat ini pun dikelompokkan ke dalam 4 (empat) bagian besar yaitu Nafsiah,
Salbiah, Ma'ani, dan Manawiyah sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan di atas.
e. Ma'rifatullah : Mengenali Diri Sendiri
"Yang Ada" adalah sesuatu yang abstrak yang tidak terpikirkan oleh akal manusia.
Ketika manusia menyaksikan alam semesta dilanjutkan dengan pemikiran dan perenungan yang
mendalam secara naluri akan timbul perasaan bahwa ada sesuatu yang menguasai alam ini.
Kesan pertama adalah "Ada yang Maha Kuasa" (Hamka,1987:1). Kesan itulah yang tumbuh
bilamana akalnya sudah mulai berjalan. Bahwa ada sesuatu kekuatan tersembunyi di latar
belakang yang tampak ini, yang selalu dirasai adanya, tetapi tidak dapat ditunjukkan tempatnya.
Manusia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa ada sesuatu "kekuatan" yang tidak
tampak yang mengatur alam semesta ini. Atas dorongan hati nurani, mereka menciptakan
tuhan-tuhannya sekadar apa yang menjadi refleksi alam pikirannya. Artinya, dalam
merefleksikan perasaan ketuhanannya itu pada awalnya, manusia tanpa mengikuti petunjuk
dan tanpa kitab suci yang benar. Memang persoalan pokok yang menjadi bahan pemikiran para
pemikir masa lalu hingga sekarang adalah mengenai Tuhan. Penyelidikan, penyidikan dan
sekaligus penelitian terhadapnya telah melahirkan berbagai pandangan dan teori. Rasanya tidak
berlebihan apabila dalam upaya mencari Tuhan telah berkembang menjadi sebuah ilmu yang
kemudian dikenal dengan sebutan teologi.
Sebenarnya bukanlah maksud penulis untuk melibatkan diri ke dalam pergulatan
pencarian Tuhan. Namun setidaknya guna memahami titik persoalan yang terkandung dalam
teks Timbangan "proses" pencarian tentang Tuhan mutlak diperlukan. Bahkan menurut Al-Jisr
(1976:33) mereka yang terlibat dalam upaya pembahasan tentang Tuhan, hakekatnya mereka
telah memasuki dunia filsafat. Oleh karena filsafat hakikatnya dan selamanya membahas
tentang Tuhan.
Teks Timbangan sebenarnya membangun pengertian Tuhan dalam persepsi ajaran
Islam. Dalam prosesnya, sang penulis teks, mengetengahkan uraiannya bertitik tolak pada
pengenalan diri pribadi manusia. Kenalilah diri sendiri; sebab dengan mengenali diri pribadi
akan membawa dirinya mengenali Tuhan yang sebenarnya. Dalam lingkup lebih luas lagi,
terutama dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah, pengenalan kepada-Nya menjadi lebih
penting, bahkan terkesan sangat mendasar. Sebuah pertanyaan, mungkin, telah cukup
menghentakkan kita untuk berpikir lebih mendalam. Misalnya siapakah Tuhan itu ? Jika kita
tidak tahu jawabannya, maka implikasinya adalah kesia-siaan beribadah. Apalah artinya shalat,
menyembah Allah, jikalau yang disembahnya tidak kita kenali. Oleh karena itulah, di dalam
teks Timbangan bagian (2) Ibtat dikemukakan dalam pupuh Dangdanggula bait 3.
* marifatna mungguh maha suci ----------------- marifatnya kepada Yang Maha Suci
* suci tina saniskara tekad -- ----------------------suci dari segala tekad (niat)
* tekad badag tekad awon -- -----------------------tekad besar tekad buruk
* awon lamun henteu jucung --------------------- buruk bila tak tercapai
* jucungkeun sing awas tingali ------------------- segera capai dengan tajam penglihatan
* tingali dina lafad ---------------------------------- lihat dalam lafad
* man arofa nafsahu -------------------------------- man arofa nafsahu
* jeung faqod arofa robah ------------------------- dan faqod arofa robah
* saha-saha nu ngeunteung ka badan pribadi --- siapa yang mengenal diri
* marifat ka Gustina -- ------------------------------akan mengenal Tuhannya
Senada dengan maksud di atas, Umarie (tt:18) memperjelas dengan menyatakan bahwa
"Awwalu waajibin 'alal insaani, ma'rifatul ilaahi bistieqaani". Artinya : mula-mula pekerjaan
yang wajib atas manusia yang Islam itu, ialah mengenal Allah dengan keyakinan. Dalam upaya
mengenal Allah pun harus disikapi dengan cara yang elegan tidak seperti kita mengenal
seseorang. Sebab Allah bersifat Laesa kamislihi syaiun, Tak ada sesuatu yang menyerupainya.
Hamka (1987:17) mengklasifikasikan upaya pencarian diri untuk mengenal Allah ke
dalam lingkup Tasauf. Menurutnya, jalan Tasauf ialah merenung ke dalam diri sendiri.
Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan, riadlatun nafs, sehingga
kian lama kian terbuka selubung diri itu dan timbullah cahayanya yang gemilang, yang dapat
menembus segala hijab yang menyelubunginya selama ini. Socrates pun menyuruh orang untuk
kembali menyelidiki dirinya sendiri, "Kenalilah dirimu!". Maka dalam kalangan tasuf timbullah
pepatah yang terkenal : man araf nafsahu faqod araf rabbahu, "Barangsiapa yang mengenal
akan dirinya niscaya kenallah ia akan Tuhannya".
f. Sumber Ajaran
Marilah kita sepakati dan bertitik tolak pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dari
sebuah filsafat metafisika yang mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan di dunia ini.
Pertanyaan yang sering diajukan ketika mempelajari filsafat adalah: Siapa aku ? Bagaimana ?
Mau kemana ? Untuk apa dan Mengapa ? Dan ternyata pertanyaan-pertanyaan ini telah
melahirkan berjilid-jilid buku dan berbagai aliran filsafat. Bahkan Syekh Abu Al-Mauzun
(dalam Al-Jisr,1976:25-26) ketika disodorkan pertanyaan tersebut oleh muridnya Hairan bin
Abudullah al-Adl'af, beliau tidak mampu menanggung keterkejutan yang amat sangat yang
menyebabkan beliau tak sadarkan diri.
Dalam pada itu "daftar pertanyaan" yang dimaksud tampaknya merupakan pertanyaan
universal yang ada pada setiap manusia (baca: bangsa). Bukankah dalam kalangan sufi pun
terkenal ungkapan Qod arofa nafsahu, faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya
sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalil ini merupakan jalan pertama di dalam
menyelami ilmu ketahuidan yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin mensucikan diri.
Lepas dari masalah itu semua, hal pencarian diri di dalam rangka mencapai "ketenangan dan
kedamaian" guna mengarah kepada kedekatan dengan sang Pencipta alam semesta banyak
dilakukan melalui pengkajian diri sendiri sebagaimana telah dikemukakan.
Pencapaian jati diri manusia itu pun tak akan bermakna apa-apa tanpa pencapaian
pengakuan kepada Sang Khalik. Artinya proses pencarian jati diri manusia harus dan -mungkin
wajib- bermuara pada keyakinan adanya Tuhan. Keyakinan kepada adanya Tuhan ini secara
tidak langsung akan melahirkan pula konsep-konsep ketuhanan. Dalam hubungannya dengan
inilah hendaknya budaya diartikan sebagai upaya melahirkan konsep-konsep ketuhanan.
Teks Timbangan tidak secara eksplisit menyebutkan sumber ajaran yang menjadi materi
bahasannya. Namun dengan menelaah pokok-pokok bahasannya, semuanya merujuk pada
sumber ajaran umat Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Apa yang dikemukakan dalam
pembahasan rukun Islam, dan sifat dua puluh semuanya tertera dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Beberapa ayat dalam surat-surat tertentu dalam Al-Quran mengemukakan mengenai sifat-sifat
Allah. Misalnya, dalam S. Al-Hadid (57 : 3): Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir
dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Huwal awwalu wal akhiru
wadhohiiru wal baathin wa huwa bikulli syaiin aliim).
Dalam pada itu sebagian teks Timbangan dapat dirujuk pada sumber ajarannya yaitu Al Quran.
Teks yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1 Bagian kedua Ibtat :
(1) Pupuh Dangdanggula bait 11; kawasana gusti maha suci, ka jelema ragrag pirangpirang,
dalil-dalil nu araheng, ku ibtat di sebut, iqro kitabaka na dalil, jeung kafa binafsika, ku
ibtat disambung, yaoma anta hasiba, geura buka kitab kurungan pribadi, nu aya di manehna.
Maksud teks ini dapat dirunut pada QS. Al Israa’ (17:14): ”Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu
sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu”.
(2) Pupuh Dangdanggula bait 12: nu nyukupan ka manehna pasti, pasti nyukupan
kurungan, kurungan eta kitab teh, falyaoma latudz lamu, malah saterasna teh ditambih, nafsun
saeaw walatudz jaona, ila ma kuntum, tamalun deui tambahna semet poe ieu ayeuna teh aing,
ka maneh teu rek nyiksa. Kandungannya sebagaimana terdapat dalam QS. Yaasiin (36: 54):
”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali
dengan apa yang telah kamu kerjakan”
2. Bagian ketiga Satahama
(1) Pupuh Sinom bait 12: Ari mungguh nu utama, nyaho azasna agami, cinta betah
jeung sasama, turut parentahna Nabi, nu disebut dina dalil, almuminuna ikhwatun, kabeh
mukmin dulur tunggal, ngagulung jadi sabani, bani Adam pokona jalma ayeuna. Kandungan
teks bersumber pada QS. Al-Hujuraat(49:10): ”Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah
bersaudara karena itu damaikan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat”.
(2) Pupuh Asmarandana bait 25: sidik dina surat Yasin, mungguh nu Maha kawasa,
kuma tingkah polah maneh, tingkah salah jadi nyiksa, nu hade jadi ganjaran, moal manggih
deui hukum, lian ti jieun manehna. Kandungan teks bersumber pada QS. Yaasiin (36: 54)
”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali
dengan apa yang telah kamu kerjakan”.
(3) Pupuh Sinom bait 12 : Sidikna amantubillah, ti wa malaikatihi, kakara rasa
sugema, mun nungtik wa kutubihi, tigin dina wa rasulihi, tutup catur tutup ilmu, wa bil yaomil
akhiri, pameakan dunyawiyah, panganggeusan panutupan panginditan. Kandungan teks
bersumber pada QS. Al-Baqarah (2:285): ”Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya. (Mereka mengatakan): ”Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka
mengatakan: ”Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdo’a): ”Ampunilah kami ya Tuhan
kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.
C. PENUTUP
Ameng Timbangan yang mengidentiKkan sebagai ”bela diri anti-kekerasan” berpijak
pada konsep kemanusiaan yang bertakwa kepada Allah. Ketabuan mencelakakan, merusak, dan
berbuat buruk kepada orang, sekalipun lawannya, merupakan buah atas pemahaman sifat-sifat
Allah. Sifat-sifat Allah yang dipelajari dalam teks, terutama bagian Guaroma, merupakan
gerbang pengamalan aturan-aturan hidup yang bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Setiap manusia (mukmin) adalah saudara dan menjadi pijakan dalam berinteraksi. Hal
itu kemudian harus dikembangkan dalam bentuk tolong-menolong, bantu-membantu
antarsesama. Oleh karena itu, dalam gerak Ameng Timbangan hal yang mesti muncul adalah
niat untuk menyelamatkan saudaranya (lawannya). Tidak terbesit sedikitpun niat untuk
mencelakakannya, jika hal itu terjadi, maka Ameng Timbangan sebagai sistem ”antikekerasan”
sudah ternoda. Sumber utama teks Timbangan adalah Al-Quran dan al-Hadits .
Oleh Agus Heryana
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung
Jl. Cinambo 136 Ujungberung - Bandung
Email: agus.yana17@yahoo.co.id
DAFTAR SUMBER
1.Buku
Al-Jisr ,Syekh Nadim terjemahan A. Hanafi, MA.1976.
Kisah Mencari Tuhan I. Jakarta: Bulan Bintang.
Darmana, Nana dkk. 1978.
Aliran-aliran Pokok Pencak Silat Jawa Barat . Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ekajati, Edi S. 2010.
Nu Maranggung dina Sajarah Sunda. Bandung: Kiblat - Yayasan Pusat Studi Sunda,
Fadilakusumah, A. Adil. 1997.
Penca. Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah TK I Jawa Barat.
HAMKA,1987.
Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Heryana, Agus. 1995.
Pencak Silat Aliran Cimande di Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional
Heryana, Agus. 1995.
Laporan penelitian Pengkajian Kekuatan Tenaga Dalam pada Pencak Silat. Bandung:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (tidak diterbitkan)
21
Rosidi,Ajip.1966.
Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Ciebon: Tjupumanik.
Rauf, Abdur dan M. Rusman Tabrizy.1990.
Cikalong. Cianjur: Paguron Pusaka Cikalong Pusat Pasar Baru Cianjur
Rusyana, Yus. 1996,
Tuturan tentang Pencak Silat Dalam Tradisi Lisan Sunda. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Soepandi,Atik.1983.
Pupuh. Bandung: Pelita Masa
Umarie, Barmawie. t.t.
Sistematik Tasawwuf. Solo-Semarang: Ramadhani
2. Artikel
Bratakoesoemah,Ema.
Penca (14). Kudjang TAUN V No. 255 Jumaah 2 Desember 1960
Penca (15). Kudjang TAUN V No. 256 Jumaah 9 Desember 1960
Penca (16). Kudjang TAUN V No. 257 Jumaah 16 Desember 1960
Catatan Keluarga Besar Padepokan Penca Daya Sunda dalam bentuk stensilan tanpa tahun.
IPSI,1990.
Penyebaran dan Perkembangan Pencak Silat di Dunia Internasional.
Al-Quran dan Terjemahnya.
Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Abdullah bin Abdul Azis Ali Sa’ud.
Mujamma’al Al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf Asy-Syarif Madinah alMunawwarah
P.O. Box 6262 Kerajaan Arab Saudi.
Sumber
edit: PSTJakasampurna